Pasal Karet
Disclaimer: Tulisan ini dibuat dengan latar waktu sebelum 30 September 2019

Baru-baru ini Indonesia dilanda polemik yang menyinggung para mahasiswa yang mewakili rakyat Indonesia dengan aparatur pemerintah. pada selasa (24/9/2019) aksi pun terjadi di sejumlah kota di Indonesia, antara  lain Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Malang, Jember, dan kota-kota lainnya. Aksi tersebut didasari 7 tuntutan, yaitu :
1.      Menolak RUKUHP, RUU pertambangan, Minerba, pertanahan, permasyarakatan, ketenagakerjaan, mendesak pembatalan UU KPK dan SDA, mendesak disahkan RUU PKS dan Perlindungan PRT
2.      Batalkan pimpinan KPK yang bermasalah
3.      Tolak TNI dan POLRI menempati jabatan sipil
4.      Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tapol Papua segera
5.      Hentikan kriminalisasi aktivis
6.      Hentikan pembakaran hutan dan pidanakan korporasi pembakar hutan
7.      Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili  penjahat HAM
Dan 4 maklumat Tuntaskan Reformasi, yaitu :
1.      Restorasi upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme
2.      Restorasi demokrasi, kebebasan berpendapat, dan pemenuhan HAM
3.      Restorasi reforma agraria, perlindungan SDA, dan tenaga kerja
4.      Restorasi kesatuan bangsa, hapuskan diskriminasi, dan ketimpangan
Di artikel ini saya ingin membahas salah satu poin dari 7 tuntutan aksi yaitu, tentang penolakan RUKUHP. Pada RUKUHP terdapat beberapa pasal yang cukup menimbulkan pertentangan di masyarakat. Menurut kutipan di liputan6.com dengan headline Revisi KUHP Siap Disahkan, Pasal Karet Jadikan Pemerintah Antikritik? Penantian akan lahirnya KUHP yang benar-benar hasil karya bangsa sendiri sudah berlangsung lama. Gagasan untuk melahirkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Nasional yang segera disahkan lahir lebih setengah abad silam, yakni saat berlangsung Seminar Hukum Nasional I di Semarang.
Dalam seminar yang berlangsung pada 1963 tersebut muncul berbagai masukan untuk KUHP asli Indonesia. Antara lain, perlunya perluasan delik-delik kejahatan keamanan negara, ekonomi, juga kesusilaan.
Gagasan ini lahir karena selain KUHP yang ada merupakan produk pemerintahan kolonial yang sejumlah pasalnya tak bisa dilepaskan untuk kepentingan pemerintahan jajahan, juga lantaran perlu ada aturan dan rumusan baru bagi sejumlah delik pidana.
Sumber KUHP sendiri adalah hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku di Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918.
Pemerintah kemudian merespons hasil seminar dengan membentuk sebuah tim perumus. Setahun kemudian terbentuk tim perumus RKUHP yang diketuai pakar hukum Universitas Diponegoro Prof Soedarto. Tim beranggotakan sejumlah pakar hukum terkemuka Indonesia.
Mereka antara lain Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Satochid Kartanegara, Prof Oemar Seno Adji, dan J.E. Sahetapy.
Beberapa tahun kemudian anggota tim ditambah, antara lain dengan melibatkan Prof Mardjono Reksodiputro, Karlinah Soebroto, Andi Hamzah, Muladi, Barda Nawawi, dan Bagir Manan. Soedarto memimpin tim hingga ia wafat pada 1986 dan kemudian digantikan Roeslan Saleh.
Tim perumus RKUHP sepakat tidak membuat KUHP sama sekali dari nol. Tim melakukan rekodifikasi KUHP Hindia Belanda, menghilangkan Buku III dan membuat penjelasan setiap pasal. Soedarto juga meminta pandangan dua pakar hukum Belanda untuk memberi masukan RKUHP. Keduanya, yaitu Prof D Schaffmeister dan Prof N Keijzer dari Universitas Leiden.
Pada 1986 penyusunan Buku I yang berisi asas-asas dan penjelasan pasal-pasal selesai yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan Buku II, yakni dengan memasukkan pasal yang dinilai tim masih relevan ke dalam buku II, yang mengatur tindak pidana berikut ancaman pidananya.
Saat Menteri Ismail Saleh menjadi Menteri Kehakiman ia meminta tim untuk segera menyelesaikan penyusunan RKUHP ini. Ismail dan Sunarjati Hartono -Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)- terus mengawal penyusunan RKUHP tersebut.
Akhirnya pada 1993 Ketua Tim, saat itu dipegang Mardjono Reksodiputro menyerahkan naskah lengkap RKUHP kepada Ismail Saleh di kantornya. Mardjono menjadi ketua tim sejak 1987 hingga 1993.
Ketika Ismail lengser dan digantikan Oetojo Oesman, peraktis tidak ada kemajuan dalam pembuatan RKUHP itu. Bisa disebut, hampir selama lima tahun RKUHP ini hanya tersimpan di Kementerian Kehakiman. RKUHP kemudian baru mengalami kemajuan lagi ketika Muladi menjadi Menteri Kehakiman.
Muladi sempat mengajukan RKUHP ini ke Sekretariat Negara. RKUHP ini juga pernah diberikan ke DPR. Baru pada 2013 DPR secara intensif melakukan pembahasan RKUHP. Benny K Harman dari Fraksi Demokrat memimpin Panitia Kerja pembahasan RKHUP.
Pada 5 Juni 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP. DPR dan pemerintah sepakat merampungkan pembahasan itu dalam tempo dua tahun yaitu sampai akhir 2017 yang akhirnya terlewati.
Kini, bisa dipastikan bahwa RKUHP yang terdiri sekitar 780 pasal itu akan disahkan pada 2018. Jika disahkan nanti, maka berarti inilah rancangan undang-undang yang terbilang paling lama pembuatannya dalam sejarah bangsa ini. Jika dihitung dari Seminar Hukum Nasional I di Semarang, memakan waktu sekitar 55 tahun.
Dikutip dari laman merdeka.com pada selasa (24/9/20019) pukul 11.40 WIB Merdeka.com - Rencana pengesahan RUU KUHP menuai polemik dan protes dari publik. Sebabnya, sejumlah pasal dinilai justru membawa Indonesia menuju kemunduran demokrasi.
Gelombang demonstrasi pun terjadi. Sejak Senin (23/9) kemarin, ribuan mahasiswa turun ke jalan. Mereka menuntut pembatalan pengesahan sejumlah undang-undang, beberapa di antaranya adalah RUU KUHP dan UU KPK.
Meski tetap berkukuh mengesahkan, nyatanya DPR tak jadi melakukannya. Padahal rencananya RUU KUHP disahkan pada sidang paripurna DPR, Selasa (24/9) ini. Berikut pasal-pasal dalam RUU KUHP yang menjadi sorotan:

1.   Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
Pasal yang menjadi kontroversi dalam RUU KUHP yakni terkait pasal pasal penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden yang diatur dalam pasal 218 sampai pasal 220.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan, pasal 219 yang berbunyi: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

2.   Pasal Perzinaan

Selanjutnya ada pasal perzinaan yang menjadi sorotan, di mana dalam pasal 417 ayat 1 setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang lain yang bukan suami atau istri dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II. Pada ayat 2 tindak pidana perzinaan tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya.
Kemudian pada pasal 418 ayat 1 laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini, kemudian mengingkari janji tersebut dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak kategori III.
Selanjutnya pasal 418 ayat 2 Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. Kemudian proses hukum hanya bisa dilakukan atas pengaduan yang dijanjikan akan dikawini.
Pada pasal 419 ayat (1) setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Ayat 2 pasal 419 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya. Ayat 3 pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua atau anaknya.

3.   Pasal Tentang Mempertunjukan Alat Kontrasepsi

Kemudian ada pasal 414 tentang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan alat pengguguran kandungan. Pasal 414 berbunyi: Setiap Orang yang secara terang terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.

4.   Pasal Pembiaran Unggas

Selanjutnya ada pasal 278 terkait Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan. Pasal tersebut berbunyi:
Barang siapa tanpa wenang membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun, di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah. Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.
Menkum HAM Yasonna Laoly mengatakan alasan tentang ketentuan tersebut masih diatur. Lantaran Indonesia masih banyak memiliki desa.
"Masyarakat kita banyak yang agraris di mana banyak petani di mana banyak masyarakat yang membibitkan apa namanya yang nyawah dll, ada orang usil dia tidak pidana badan, dia hanya denda dan itu ada KUHP dan di KUHP lebih berat sanksinya nah kita buat lebih rendah. Jadi jangan dikatakan mengkriminalisasi," tuturnya.

5.   Pasal tentang Gelandangan

Pada Pasal 431 tertulis: Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Menkum HAM Yasonna Laoly menjelaskan yang dimaksud pidana bukan hukuman penjara. Melainkan hanya denda.
"Dapat dijatuhkan pidana alternative (pengawasan/kerja sosial). Dapat dikenakan tindakan (misalnya kewajiban mengikuti pelatihan kerja)," jelasnya.

6.   Pasal Tentang Aborsi

Ada juga pasal 471 tentang pengguguran kandungan, yang berbunyi:
(1)   Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

7.   Pasal Tindak Pidana Korupsi

Pasal tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP juga menuai kontroversi, hal ini karena hukuman koruptor yang diturunkan menjadi minimal dua tahun penjara. Padahal dalam KUHP lama, hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi minimal empat tahun penjara.
Hal ini diatur dalam pasal 604 yang berbunyi, "setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI".https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-pasal-pasal-karet-dan-paling-disorot-di-ruu-kuhp.html
Asfinawati mengemukakan kajian mendalam harus dilakukan terhadap pasal-pasal RUU KUHP yang menuai kontroversi. Selain itu, ia meminta juga agar pemerintah dan DPR RI dapat melibatkan rakyat dalam pengesahan RUU KUHP.
"Harus ada pengambilan suara dari seluruh masyarakat. Tidak hanya di Jakarta atau di Jawa, tapi di seluruh wilayah Indonesia," kata Asfinawati dalam diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9/2019).
Dari suara rakyat itulah dapat menjadi masukan untuk pemerintah dan DPR dalam mengkaji lebih mendalam pasal demi pasalnya. Terutama penggunaan frasa yang harus melalui tes ke penegak hukum dan masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan agar mendapati satu tafsiran yang sama dan cocok secara menyeluruh.
"Karena misalnya begini, di KUHP yang lama ada kalimat pencurian adalah mengambil barang miliki orang lain tanpa izin. Nah berangkat dari kalimat itu mungkin tidak ada tafsir berbeda, tidak mungkin," ujar Asfinawati.
Asfinawati mengkritisi pembahasan RUU KUHP oleh pemerintah dan DPR yang cenderung hanya menampung pendapat para ahli bukan masyarakat. Padahal nantinya bila disahkan, penerapan RUU KUHP bakal menyasar kepada masyarakat itu sendiri.
Untuk itu menjadi penting keterlibatan suara dan masukan masyarakat dalam kajian mendalam selama RUU KUHP ditunda pengesahannya sebagaimana usul Jokowi. Ia menyarankan untuk melakukan semuaya itu, baik pemerintah dan DPR bisa melalui kantor-kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
"Harusnya mereka bergerak di berbagai kota, melibatkan alademisi, masyarakat biasa, adat, NGO, terus menggali sebenarnya apa yang diharapkan publik terhadap hukum pidana," kata Asfinawati.
Diketahui, Presiden Jokowi meminta DPR untuk menunda mengesahkan RUU KUHP, yang banyak memuat pasl-pasal kontroversial serta memicu protes publik.
Jokowi juga sudah menginstruksikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly untuk menyampaikan permintaannya itu kepada DPR, agar RUU KUHP benar-benar ditunda.
"Sudah saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR, dan pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda," ujar Jokowi di Istana Bogor, Jumat (20/9/2019).

Menurut Saya sendiri pasal-pasal dalam RUKUHP tersebut melebar dan cenderung menguntungkan lembaga yang membuat RUU tersebut. Memang benar, sudah seharusnya KUHP direvisi dikarenakan undang-undang tersebut merupakan produk hukum kolonial Belanda, ideologi Belanda berbeda dengan ideologi bangsa Indonesia.            Dan menurut ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tak lepas dari sikap arogan para politikus di parlemen. Alih-alih mendengar suara rakyat, anggota DPR yang terlibat penyusunan RKUHP hanya mengutamakan kepentingan sendiri.
"Itu sikap arogansi politikus, dia tidak menyadari eksistensi sebagai wakil rakyat yang mewakili dan punya kewajiban menyerap aspirasi masyarakatnya," ujar dia melalui keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/9).

Menurut Ficar, kondisi ini tak lepas dari keberadaan oligarki yang hanya peduli pada kepentingan kelompoknya. Mereka dinilai tak bersikap bijaksana dan tak mengakomodasi kebutuhan masyarakat.


"Saat ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan yang negarawan pada semua level tingkatan," katanya.

Saya kira sampai disini saja artikel ini saya buat. Mohon maaf jika ada salah dalam penuturan kata dalam artikel diatas dan terimakasih telah menyempatkan waktu membaca artikel ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasi Lengko Khas Cirebon Dapat Dinikmati Di Kota Bogor